METODE KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


METODE KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING and LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Oleh:
Casimirus Andy Fenanlampir
12706251052


A.     PENDAHULUAN
Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi manusia. Kelemahan dalam penguasaan kemampuan berbahasa atau kemampuan verbal akan menghambat kemajuan seseorang dalam mempelajari hal-hal yang  lain.  Pemerolehan bahasa dapat diklasifikasikan atas dua golongan, yakni pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama berhubungan dengan segala kegiatan seseorang dalam menguasai bahasa ibunya. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi setelah setelah seseorang menguasai bahasa pertamanya.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbahasa diperoleh seseorang melalui dua cara yaitu: pemerolehan bahasa (language acquisition) bagi bahasa pertama dan pembelajaran bahasa (language learning) bagi bahasa kedua.
 Istilah pemerolehan bahasa atau language acquisition biasanya dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pertama atau kedua. Pemerolehan bahasa pertama adalah proses belajar bahasa yang dilakukan tanpa disadari. Pemerolehan bahasa terjadi dengan ciri-ciri tidak direncanakan dan tidak disadari. Hal ini terjadi pada masa kanak-kanak. Ketika kanak-kanak, orang tua kita tidak pernah menyusun suatu program pengajaran bahasa. Kita belajar bahasa pertama secara alamiah atau natural. Orang-orang dewasa di sekitar kita menjadi guru alamiah kita. Mereka akan memberi pujian jika kita berbicara benar, dan perbaikan jika kita berbicara salah.
Berbeda dengan pemerolehan bahasa, istilah pembelajaran bahasa (language learning) merujuk pada kegiatan yang dilakukan para pengajar dan peserta didiknya. Hal ini berarti terjadi interaksi langung antara peserta didik dengan pengajar dalam sebuah kegiatan pembelajaran yang terlebih dahulu diprogramkan atau diatur sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai. Menurut Basilius R. Werang (2011: 85) pembelajaran merupakan suatu proses sadar yang dilakukan pengajar untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan kualitas belajar para peserta didiknya. Dalam kerangka berpikir ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya sistematis dan terprogram untuk mengembangkan kemampuan.
Keterampilan seseorang dalam menguasai bahasa bergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan bahasa tersebut. Hal ini disebabkan bahasa pertama lebih dikuasai daripada bahasa kedua. Berbeda jika terdapat kesempatan yang sama untuk menggunakan dua bahasa atau lebih, maka ada kemungkinan penguasaan atas kedua bahasa itu akan sama baiknya.
Penelitian tentang sistem pendidikan formal pada negara-negara yang mempunyai bahasa atau dialek yang berbeda-beda membuktikan bahwa masalah-masalah kebahasaan sering dijumpai di sekolah-sekolah dan sebagian besar menyebabkan kemunduran belajar atau kegagalan para peserta didik. Keberhasilan di sekolah sebagian besar bergantung pada kuatnya kemampuan berbahasa lisan dan tulisan (Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, 2011: 82)
Dengan banyaknya metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh seorang pengajar dalam sebuah proses pembelajaran, dan beradasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap pemerolehan bahasa anak, maka maka makalah ini akan membahas tentang metode pembelajaran bahasa yang berlandaskan pemerolehan bahasa pada anak dengan judul metode pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran bahasa bagi anak-anak.
B.      RUMUSAN MASALAH
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih fokus, maka berikut adalah beberapa masalah yang nantinya akan dibahas, meliputi:
1.      Apa itu metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)?
2.      Mengapa metode pembelajaran kentekstual dianggap paling tepat dalam pembelajaran bahasa pada anak-anak?

C.      TUJUAN
Tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui tentang metode pembelajaran kontekstual.
2.      Mengetahui alasan penggunaan metode pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran bahasa pada anak-anak.

D.     PEMBAHASAN
1.              Kosep Pengalaman Belajar
Cara belajar yang paling baik adalah melalui pengalaman, karena melalui pengalaman tersebut peerta didik dapat melibatkan seluruh pancainderanya. Untuk memperoleh pengalaman belajar  dimaksud, peserta didik dapat melakukan berbagai macam kegiatan, entah itu di sekolah, di rumah, atau pun di dalam lingkungan masyarakat.
Belajar dari pengalaman adalah belajar bagaimana peserta didik menghubungkan pengalamannya saat ini dengan pengalaman yang dialaminya pada masa lampau. Dalam bahasanya John Dewey (melalui Park, 1958: 94), belajar dari pengalaman berarti to make backward and forward connection between what we have to do things and what we enjoy or suffer from things in consequences (membuat hubungan antara hal-hal yang harus kita lakukan dan hal-hal yang kita nikmati atau kita derita sebagi akibat dari apa yang kita lakukan pada masa lampau dan pada masa yang akan datang).
Perubahan perilaku yang terjadi dalam diri peerta didik merupakan hasil dari pengalaman belajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Cronbach (1954) sebagai berikut: “learning is shown by change in behavior as a result of experience” (belajar diperlihatkan melalui perubahan perilaku yang merupakan hasil dari pengalaman). Hal senada diungkapkan oleh Morgan, dkk (1986) yang menegaskan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Menurut woolfolk (1995) yang mengatakan bahwa belajar terjadi ketika pengalaman mampu menghasilkan suatu perubahan yang relatif tetap dalam pengetahuan atau perilaku indovidu tertentu. Dapat disimpulkan bahwa  kualitas belajar seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh orang tersebut pada saat berkontak dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

2.              Hakikat Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Anak belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah dengan mengaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh para peserta didik . Menurut Yatim Riyanto (2009: 159), ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Menurut Basilius R. Werang (2011: 9) mengatakan bahwa belajar ‘asosiasi verbal’ merujuk kepada proses memahami informasi verbal yang menggambarkan suatu konsep, prinsip, benda, situasi, dan sebagainya. Belajar bahasa verbal akan berhasil jika anak didik memiliki informasi yang terorganisasi dalam sistem ingatannya. Semakin kuat hubungan antar-informasi yang ada dalam sistem ingatannya, semakin mudah informasi tersebut diingat.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar  yang membantu pengajar mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong mereka untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan merekan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),  refleksi (reflection), dan penilaian (authentic assessment). Dengan konsep ini diharapkan para peserta didik memperoleh hasil yang lebih bermakna. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan para peserta didik dengan bekerja dan mengalami.
a.              Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir dalam CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun leh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta-merta. Esensinya adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Untuk itu tugas pengajar adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
·                  Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik.
·                  Memberi kesempatan peserta didik menemukan dan menerapkan idenya sendiri
·                  Menyadarkan peserta didik agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.
b.              Menemukan
Menemukan merupaka kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Menurut Yatim Riyanto (2009: 171) siklus menemukan sebagai berikut:
·                  Observasi
·                  Bertanya
·                  Hipotesis
·                  Pengumpulan data
·                  Kesimpulan
Langkah-langkah kegiatan menemukan meliputi:
·                  Merumuskan masalah
·                  Mengamati atau melakukan pengamatan
·                  Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan, tabel, atau karya lainnya.
·                  Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pambaca, teman sekelas, pengajar, atau audiensi yang lain.
c.               Bertanya
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan pengajar untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta didik.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
·                  Menggali informasi
·                  Mengecek pemahaman peserta didik
·                  Membangkitkan respons peserta didik
·                  Mengetahui sejauh mana keingintahuan peserta didik
·                  Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui peserta didik
·                  Memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu yang dikehendaki pengajar
·                  Membangkitkan pertanyaan lebih banyak lagi dari peserta didik
·                  Menyegarkan kembalai pengetahuan peserta didik


d.              Masyarakat belajar
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam CTL pengajar disarankan untuk selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar.
e.              Pemodelan
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa cara mengoperasikan sesuatu, cara melafalkan, dan sebagainya. Seorang pelajar bis ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata, dan peserta didik dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapai.
f.                 Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang sesuatu yang sudah dilakukan di masa lampau. Peserta didik mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan baru yang diterima peserta didik.
g.              Penilaian
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Hal ini disebabkan aspek penilaian menekankan proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan peserta didik pada saat proses pembelajaran. Apabila peserta didik mengalami kemacetan belajar, maka berdasarkan data tersebut, pengajar dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah belajarnya.
Dalam kelas kontekstual, tugas pengajar adalah membantu peserta didiknya mencapai tujuan. Selain itu, pengajar juga bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi peserta didiknya. Sesuatu yang baru diperoleh dari “menemukan diri” bahkan dari “apa kata guru” (Yatim Riyanto, 2009: 160).

3.              Model – model pembelajaran Efektif berbasis pembelajaran CTL
Terdapat sejumlah model pembelajaran efekktif berbasis kontekstual yang dapat diguanakan dalam proses pembelajaran, diantaranya yaitu pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran kooperatif dengan berbagai tipenya, seperti STAD/ Student-Teams Achievement Divisions (Tim Siswa Kelompok Prestasi), JIGSAW (Model Tim Ahli) dan GI (Group Investigation), TPS (Think-Pair and Share), NHT (Numbered Head Together), picture and picture, examples non examples, pengajaran berbasis inkuiri, pengajaran berbasis tugas/proyek (Project Based Learning), demonstration, role playing, pemodelan (modelling), dan lain sebagainya.
·                  Tipe Team Game Tournament (TGT)
Dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe TGT, peserta didik tidak diilai dengan kuis individual tetapi melalui turnamen perbaikan akademik. Peserta didik mewakili timnya berlomba dengan anggota lainnya yang setara kinerja akademiknya berdasarkan hasil penilaian yang sudah pernah dilakukan. Peserta didik dari seluruh tingkatan kinerja pada setiap kelompok memiliki peluang yang sama untuk menyumbang poin bagi timnya apabila mereka berhasil melakukan yang terbaik.
·                  Tipe berbasis masalah (Problem Based Learning)
Dalam tipe pembelajaran ini, kegiatan pembelajaran dimulai dengan mengajukan permasalahan kepada peserta didik, kemudian mereka diarahkan untuk melakukan penelitian kelompok. Pengajar membantu kelompok mendapatkan informasi yang tepat dan menata laporan hasil penelitian untuk disampaikan kepada seluruh kelas. Selanjutnya, para peserta didik diajak dan dipandu untuk melakukan refleksi, menganalisis, dan mengevaluasi proses hasil penelitian mereka.
·                  Tipe Students Team Achievement Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan oleh Robert Slavin (melalui Nur, 1999). STAD merupakan tipe pembelajaran koperatif yang paling sederhana sehingga pengajar baru dapat menggunakannya. Para peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok. Setelah itu pengajar mempresentasikan pembelajaran dan para peserta didik berusaha bekerja dalam kelompok untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok menuntaskan atau menguasai materi tersebut. Seluruh peserta didik diberikan tugas individual dan mereka tidak boleh saling membantu dalam menyelesaikan tugas yang diberikan.
·                  Tipe Numbered-Heads Together (NHT)
Tipe pembelajara ini dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993). Tipe ini melibatkan banyak peserta didik dalam kelompok yang diberikan nomor berbeda. Pengajar mengajukan pertanyaan kepada peserta didik. Para peserta didik dalam kelompok enyatukan ide dan pikiran mereka sekaligus memastikan bahwa setiap anggota kelompok mampu menjawab pertanyaan yang diajukan tersebut. Kemudian, pengajar memanggil nomor tertentu dan meminta kepada semua peserta didik yang nomornya dipanggil untuk mengangkat tangan dan memberikan jawaban bagi seluruh kelas.
·                  Tipe JIGSAW
Dalam pembelajaran tipe ini, materi pebelajaran disajikan kepada para peserta didik dalam bentuk teks, dan setiap peserta didik dalam kelompok bertanggung jawab mempelajari satu bagian materi. Selanjutnya, anggota kelompok berbeda namun yang memiliki tanggung jawab atas bagian materi yang sama berkumpul membentuk satu kelompok baru, yang disebut kelompok ahli, untuk belajar bersama dan saling membantu dalam mempelajari materi tersebut. Setelah itu mereka kembali ke kelompok asal dan menjelaskan apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok ahli kepada teman-temannya. Kemudian pengajar meminta beberapa peserta didik untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok awal.
·                  Tipe Think Pair Share (TPS)
Pemmbelajaran tipe TPS atau berpikir (think) dan berbagai (share) secara berpasangan (pair) merupakan jenis pembelajaran yang khusus dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi para peserta didik. Dalam pembelajaran tipe ini, pengajar mengajukan pertanyaan atau isu tertentu dan meminta setiap peserta didik untuk memikirkan jawaban dan penjelasannya. Selanjutnya, para peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk secara berpasang-pasangan berdiskusi tentang jawaban dan penjelasan yang telah dipikirkannya. Pengajar kemudian meminta kepada setiap pasangan untuk mempresentasikan hasil diskusinya kepada semua peserta didik.
·                  Tipe Group Investigation (GI)
Dasar-dasar metode group investigation (investigasi kelompok) dirancang oleh Herbert Thelen, selanjutnya dikembangkan oleh oleh Sharan dan kawan-kawannya. Dibandingkan dengan model STAD dan Jigsaw, group investigation merupakan model pembelajaran yang lebih kompleks dan paling sulit dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Pada model group investigation, sejak awal peserta didik dilibatkan mulai dari tahap perencanaan baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Dalam pelaksanaanya, mempersyaratkan para peserta didik untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Pengelompokan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil antara 5-6 orang dapat bersifat heterogen dan dapat juga didasarkan pada kesenangan berteman atau kesamaan minat. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti/melakukan investigasi.

4.              Kelebihan dan kelemahan CTL
Adapun keunggulan dari pembelajaran CTL adalah sebagai berikut:
·                  Pembelajaran menjadi bermakna dan riil. Hal ini berarti peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan di kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi peserta didik materi itu akan berfngsi secara fungsional, tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori, sehingga tidak akan dilupakan.
·                  Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada peserta didik karena metode CTL menganut aliran konstruktivime, di mana seorang peserta didik dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri.
·                  Kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas peserta didik secara penuh, baik fisik maupun mental.
·                  Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untk menguji data hasil temuan mereka.
·                  Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian pengajar.
·                  Penerapan pembelajaran kontekstual dapat menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna.

Sedangkan kelemahan dari pembelajaran kontekstual ini meliputi:
·                  Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran berlangsung.
·                  Jika pengajar tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat meniptakan situasi kelas yang kurang kondusif.
·                  Pengajar lebih intensif dalam memberikan perhatian dan bimbingan kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan apa yang ditetapkan semula.

5.              Mengapa CTL menjadi pilihan
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta tetapi sebuah strateggi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri malalui pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya.
Alasan perlu diterapkannya pembelajaran kontekstual adalah :
·         Sebagian besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.
·         Materi pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
·         Penilaian hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.
·         Sumber belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara optimal.
Dalam pembelajaran bahasa, yang menurut para ahli bahwa seseorang belajar bahasa telah dimulai saat masih bayi karena memiliki apa yang disebut oleh Chomsky (melalui Subyakto-Nababan, 1992) dengan Language Acquisition Device (LAD). Chomsky, mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan falcuties of the mind, yakni semacam kapling-kapling intelektual dalam benak atau otak mereka dan salah satunya dijatahkan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa, maka pembelajaran dengan metode kontekstual (CTL) ini, penulis anggap paling cocok, disebabkan para peserta didik sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman awal dalam berbahasa yang telah diperolehnya.

E.      KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menjadi metode yang cocok digunakan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini disebabkan metode pembelajaran ini menitikberatkan pada:
1.      Pengalaman atau pemerolehan bahasa yang telah diperoleh peserta didik.
2.      Proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah pembelajaran yang aktif, menarik, interaktif, dan kooperatif.
3.      Peserta didik terlibat langsung dalam mencari pengetahuan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Bell-Gredler, M. E. 1986. Learning and Instruction.: Theory into Practice. New York: McMillan Publishing Company.

Iskandarwassid-Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajara Bahasa. Rosdakarya: Bandung.

Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Kencana: Jakarta

Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Werang, Basilius.R. 2011. Belajar dan Pembelajaran (Materi Ajar Buku Pegangan Mahasiswa). Elang Mas: Malang.

Woolfolk, A. E. 1995. Educational Psychology. Needham Heights: Allyn & Bacon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOGIKA & KEBENARAN

SOSIOLINGUISTIK - ETNOGRAFI KOMUNIKASI - MODEL "SPEAKING" HYMES

INTERFERENSI dan CAMPUR KODE