INTERFERENSI dan CAMPUR KODE
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini, peneliti memaparkan empat pembahasan
pendahuluan tentang penelitian ini. Pokok pembahasan tersebut meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian.
A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk individu dan makluk sosial. Sebagai
makhluk sosial manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi,
manusia menggunakan bahasa agar dapat menyampaikan apa yang mereka maksudkan,
rasakan, inginkan dan lain sebagainya. Menurut Chaer & Agustine (2010: 11)
bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Hal ini bisa dicermati bahwa bahasa merupakan unsur
terpenting dalam sebuah komunikasi.
Gejala sosial dalam pemakaian bahasa
tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga oleh
faktor-faktor nonlinguistik, antara lain faktor-faktor sosial dan faktor-faktor
situasional. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa antara
lain tingkat ekonomi, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan sebagainya.
Pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional yaitu siapa
yang berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai
masalah apa. Hal tersebut dirumuskan secara singkat oleh Fishman (Chaer &
Agustina, 2010: 15) yaitu who speak, what language to whom and when ‘siapa yang berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, dan kapan’.
Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal
atau proses komunikasi selalu terdapat beberapa komponen yang mengambil peranan
dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell (1976: 75) menyatakan secara
tradisional terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari
sebuah peristiwa atau situasi komunikasi yaitu: penutur (speaker), lawan tutur (hearer)
, dan topik pembicaraan. Dengan kata lain dalam setiap proses komunikasi yang
terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa
tutur atau peristiwa bahasa (speech event).
Pada era globalisasi
ini, kontak bahasa daerah dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing menjadi intensif dan
memungkinkan terjadinya pengaruh antarbahasa. Bahasa yang digunakan sangat beragam dan merupakan hal
yang sangat menarik untuk dijadikan bahan penelitian karena terkadang terjadi
peristiwa alih kode, campur kode, dan interferensi yang dilakukan oleh
penggunannya. Proses
komunikasi dalam masyarakat tidak hanya berlangsung dalam satu bahasa
saja, tetapi bisa lebih dari satu
bahasa. Kita ketahui bahwa di banyak
negara, bahkan banyak daerah dan kota,
terdapat orang-orang yang dapat memakai lebih dari satu
bahasa, misalnya
bahasa daerah dan bahasa Indonesia atau bahasa asing
dan bahasa Indonesia. Apabila dua bahasa
atau lebih itu dipergunakan secara
bergantian oleh penutur yang sama, maka
dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, adapun permasalahan yang diangkat dan dijadikan bahan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud campur kode dalam interaksi
antar orang tua murid TK. Indriyasana Pugeran, Yogyakarta?
2. Bagaimana wujud interferensi dalam interaksi
antar orang tua murid TK. Indriyasana Pugeran, Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan
permasalahan di atas, maka tujuan penelitan ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk penggunaan
campur kode dalam interaksi antar orang tua murid TK. Indriyasana Pugeran,
Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan bentuk penggunaan
interferensi dalam interaksi antar orang tua murid TK. Indriyasana Pugeran,
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis
penelitian ini diharap dapat bermanfaat bagi pengembangan kajian
sosiolinguistik, khususnya pada interferensi dan campur kode dalam penggunaan
bahasa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis
hasil penelitian ini bermanfaat sebagai referensi, khususnya yang berkaitan
dengan struktur inferensi bahasa dan campur kode bahasa. Selain itu, hasil
penelitian ini diharap dapat dijadikan sebagai acuan penelitian lebih lanjut
bagi peneliti lainnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
Bagian ini akan memaparkan dan menguraikan beberapa landasan
teori yang dipakai sebagai acuan dan landasan dalam melakukan penelitian ini.
Teori-teori tersebut meliputi peristiwa tutur (speech event), kode, campur kode, dan interferensi.
A. Peristiwa Tutur (Speech Event)
Peristiwa tutur adalah sebuah aktifitas
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010: 47). Dengan kata lain,
tidak dapat dikatakan bahwa dalam setiap proses komunikasi pasti terjadi juga
peristiwa tutur atau peristiwa bahasa sebagai contoh percakapan yang terjadi di
dalam sebuah bus kota atau di dalam kereta api antara para penumpang yang tidak
saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan yang tidak menentu, tanpa
tujuan, dengan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti.
Interaksi yang berlangsung antara seorang
pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga
terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di
kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai
peristiwa tutur (speech event)
apabila memenuhi syarat seperti yang telah disebukan dalam definisi di atas.
Lebih jauh Dell Hymes (1972) membedakan antara peristiwa tutur dan tindak
tutur. Hymes berpendapat bahwa peristiwa tutur
(speech event) terjadi dalam
sebuah konteks non-verbal. Dell Hymes lebih lanjut membahas peristiwa tutur dan
menunjukkan bahwa berbagai komponen harus disertakan dalam deskripsi etnografis
komprehensif tindak tutur. Klasifikasi yang ia usulkan dikenal sebagai SPEAKING, di mana setiap huruf dalam
akronim tersebut adalah singkatan untuk komponen komunikasi yang berbeda (Chaer
& Agustina, 2010: 49; Muriel, 2003: 110-124 sebagai berikut:
1.
S (Situation), terdiri dari dua yaitu Setting dan Scene. Setting berkenaan dengan waktu dan
tempat tutur berlangsung, sedangkan Scene mengacu pada situasi tempat dan waktu
atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang
berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda sebagai contoh
berbicara dilapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan dalam situasi ramai
tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang banyak
membaca dan dalam keadaan sunyi.
2.
P (Participants), merujuk pada pihak-pihak yang teribat dalam
pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang
digunakan, misalnya anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila
berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia
berbicara dengan teman sebayanya.
3.
E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa
tutur yang terjadi di ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan
suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu
mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa,
pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim
berusaha membeberkan keputusan yang adil.
4.
A (Acts
Sequences), mengacu pada
bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan dengan kata yang
digunakan, bagaimana penggunaannya. Isi Ujaran berkenaan dengan hubungan antara
apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah
umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda satu dengan yang lainnya.
5.
K (Key), mengacu pada nada, cara, dan semangat di
mana suatu pesan disampaikan, misalnya dengan senang hati, dengan serius,
dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Atau dapat
ditunjukkan juga dengan gerak tubuh dan isyarat.
6.
I (Instrumentalities), mengacu pada jalur bahasa yang digunakan dan
juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan misalnya jalur tulisan, lisan,
melalui telegraf atau telepon, bahasa, dialek, fragam atau register.
7.
N (Norms), mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi dan juga mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara,
sebagai contoh: berhubungan dengan cara berinterupsi, cara bertanya, dan
sebagainya.
8.
G (Gernres),
mengacu pada jenis bentuk penyampaian sebagai contoh: narasi, puisi, pepatah,
doa, dan sebagainya.
B. Kode
Terdapat berbagai
pengertian kode yang diutarakan oleh para
ahli bahasa. Menurut Kridalaksana (1984: 102)
kode diartikan sebagai (1) lambang suatu
sistem ungkapan yang
dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (2) sistem bahasa
dalam satu masyarakat, (3) suatu varian tertentu dalam satu bahasa. Selanjutnya diberi ilustrasi, misalnya kita
mengatakan bahwa “manusia adalah makhluk-makhluk
berbahasa (homo lingual)”, yang dimaksud bahasa
di sini adalah alat verbal yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi. Alat komunikasi yang merupakan alat variasi bahasa dikenal dengan
kode. Dalam bahasa terkandung beberapa macam
kode, di dalam satu kode terdapat kemungkinan
variasi rasional, untuk kelas sosial, gaya maupun register.
Dengan demikian, bahasa merupakan level yang
paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas
varian-varian dan ragam serta gaya dan register sebagai sub-sub.
Istilah kode dipakai juga untuk menyebut salah
satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu
kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga
mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek
Banyumas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial
atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum
dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian
kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Kenyataan
seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam,
gaya, dan register.
Menurut Poedjosoedarmo (1982:30) kode merupakan
suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya
mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur dengan lawan tutur,
dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu terdapat unsur bahasa seperti
kalimat, kata, morfem, dan fonem.
C. Campur Kode
Sridhar
(2009: 57) mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan dua bahasa dalam satu
kalimat. Terdapat sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang juga terlibat dalam
peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode
(Chaer & Agustina, 2010: 114).Nababan (1984: 32) berpendapat bahwa campur
kode dilakukan ketika seseorang
menggunakan atau menggabungkan lebih dari satu bahasa atau dialek dalam sebuah
peristiwa tutur tanpa adanya tuntutan dalam situasi berbahasa tersebut yang
menuntut percampuran bahasa.
Selanjutnya, istilah
campur kode oleh Kridalaksana (1984:32) dikatakan
mempunyai dua pengertian. Pertama, campur
kode diartikan sebagai interferensi, sedang pengertian kedua campur
kode diartikan sebagai penggunaan satu bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain
untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian
kata, klausa, idiom dan sapaan. Thealander (dalam Chaer, 1995:
151-152) mengatakan bahwa campur kode
terjadi apabila di dalam suatu peristiwa
tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri atas
klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa, frase tidak lagi mendukung
fungsi sendiri-sendiri. Seorang penutur misalnya yang dalam
berbahasa Indonesia banyak menyelipkan
serpihan-serpihan bahasa daerahnya dapat dikatakan telah melakukan campur
kode.
Dari pendapat
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
campur kode adalah penggunaan serpihan-serpihan dua bahasa (varian) atau
lebih yang berupa kata atau frase dalam berbahasa
pada suatu tindak tutur atau peristiwa bahasa.
Campur kode dalam sebuah peristiwa bahasa dapat berupa: sisipan kata, sisipan
frasa, sisipan klausa, sisipan idiom atau ungkapan, dan sisipan bentuk baster ( bentuk yang tidak asli sebagai
akibat penambahan prefiks dan/atau suffiks ) sebagai contoh:
1. Si dia pasti dapat kita andalkan
untuk mengerjakan paper. (sisipan
kata)
2. Jangan langsung negative thinking. (sisipan frasa)
3. Think like a man, act like a lady. Imbangi posisi kita dengan berpikir selayaknya laki-laki.
(sisipan klausa)
4. Selalu menawarkan bantuan dan stand by buat kita kapan saja
dibutuhkan. (sisipan idiom)
5. Baterei HP saya habis perlu
dire-charge. (sisipan baster)
D. Interferensi
Istilah
interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebutkan
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur
bilingual atau multilingual (Chaer & Agustina, 2010: 120).
Interferensi
yang dimaksud oleh Weinreich adalah interferensi yang tampak dalam perubahan
sistem suatu bahasa (atau yang biasa disebut interferensi sistemik), baik
mengenai sistem fonologi, sistem morfologi, maupun sistem sintaksisnya.
Sehubungan dengan interferensi dalam bidang fonologi, Weinreich membedakannya
lagi menjadi empat tipe interferensi yaitu: interferensi subsitusi, sebagai
contoh penutur Bali; interferensi overdiferensiasi, sebagai contoh penutur dari
Tapanuli dan Jawa; interferensi underdeferensi, sebagai contoh penutur jepang;
dan interferensi reinterpretasi, sebagai contoh penutur Hawai (Chaer &
Agustine: 2010: 123).
Interferensi
dalam sistem fonologi misalnya, oleh para penutur bahasa Indonesia yang berasal
dari Tapanuli. Fonem /∂/ pada kata <dengan> dan <rembes> dilafalkan
menjadi [dɛngan] dan [rɛmbɛs].
Interferensi
dalam sistem morfologi antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan
afiks. Seperti kata dalam bahasa Inggris yang terdapat sufiks –isasi, maka
banyak penutur bahasa Indonesia yang menggunakannya sebagai contoh kata
<neonisasi>, padahal dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an yang dapat
digunakan untuk membentuk nomina. Seharusnya kata <neonisasi> menjadi
<peneonan>.
Interferensi
dalam bidang sintaksis misalnya kalimat “Makanan itu telah dimakan oleh saya”.
Kalimat ini sebenarnya mengalami interferensi dari kalimat dalam bahasa Sunda
yaitu “Makanan teh atos dituang ku abdi”. Kalimat yang benar dan sesuai dengan
bahasa Indonesia Baku adalah “Makanan itu telah saya makan”.
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini memaparkan metode penelitian yang terdiri dari
beberapa pokok pembahasan meliputi jenis penelitian, sumber data, instrumen
penelitian, metode pengumpulan data, keabsahan data dan analisis data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif karena tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan topik penelitian
ini adalah memaparkan atau memberi gambaran mengenai campur kode dan
interferensi dalam percakapan orang tua murid di TK. Indriyasana, Pugeran,
Yogyakarta. Metode deskriptif dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan atau objek penelitian berdasarkan
fakta-fakta dan sifat alamiah objek penelitian tersebut atau sebagaimana
adanya. Penelitian deskriptif mempelajari maslah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan,serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Metode penelitian ini
bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai data yang sedang diteliti beserta sifat dan hubungan
fenomenanya (Hariwijaya & Triton, 2011: 22). Pelakanaan penelitian
menggunakan metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan,
penyusunan dan pemaparan data saja, tetapi meliputi analisis dan interpretasi
tentang data tersebut.
B. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam
penelitian ini adalah orang tua murid TK. Indriyasana, Pugeran Yogyakarta. Data
penelitiaan ini tergolong ke dalam data primer disebabkan data diperoleh
langsung dari para sumber. Menurut (Hariwijaya & Triton, 2011: 57), data
dapat disajikan dalam bentuk tekstual atau berupa uraian-uraian kata-kata,
dalam bentuk grafik berupa gambar atau lukisan, maupun dalam bentuk tabelaris
berupa susunan yang bergolong-golong.
Data dalam penelitian ini
merupakan data tekstual berupa tuturan yang dilakukan oleh para orang tua murid
yang sebagian besar terdiri dari wanita pada saat menunggu anak-anak mereka
yang sedang bersekolah.
C. Instrumen Penelitian
Menurut
Suharsimi Arikunto (2000:134), instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang
dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar
kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Ibnu Hadjar
(1996:160) berpendapat bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang variasi karakteristik variabel secara objektif.
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dengan mengadakan
pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang diteliti.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk
mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode pengumpulan data yang tepat
dalam suatu penelitian akan memungkinkan pencapaian pemecahan masalah secara
valid dan terpercaya yang pada akhirnya akan memungkinkan dirumuskannya
generalisasi yang obyektif.
Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan
teknik simak bebas libat cakap dan teknik rekam.
E. Keabsahan Data
Untuk mendapatkan
keabsahan data maka peneliti menggunakan beberapa teknik pemeriksaan derajat
kepercayaan (credibility) dengan
jalan melakukan ketentuan pengamatan, yaitu untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur serta situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang
dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Selain itu agar data yang
diperoleh benar-benar obyektif maka dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan
data dengan metode trianggulasi yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar itu untuk keperluan pengecekan atau membandingkan
data. Teknik trianggulasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik
teknik trianggulasi teori.
Teknik trianggulasi teori
yaitu dengan Penggunaan
berbagai teori yang relevan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi
syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori
telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data
tersebut.
F. Analisis Data
Setelah data berhasil
dikumpulkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data
tersebut. Analisis data merupakan suatu usaha untuk mengkaji dan mengolah data
yang telah terkumpul sehingga diperoleh suatu simpulan yang bermanfaat dengan
tujuan penelitian.
Data yang berupa hasil
rekaman tersebut terlebih dahulu dibuatkan transkrip percakapannya dalam bentuk
tulisan yang rinci dan lengkap sesuai dengan hasil rekaman.
Langkah selanjutnya adalah
menganalisa transkrip tersebut dengan menggunakan analisis
deskriptif-kualitatif. Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu teknik
yang menggambarkan dan menginterpretasikan secara sistematis, faktual, dan
akurat arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan
merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga
memperoleh gambaan secara umum dan menyeluruh (holistik) tentang keadaan
sebenarnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Terdapat dua masalah yang diteliti dan dibahas dalam
penelitian ini yaitu mengenai wujud campur kode dalam interaksi antar orang tua
murid TK. Indriyasana Pugeran, Yogyakarta dan wujud interferensinya. Berikut
ini adalah pebahasan kedua permasalahan tersebut.
A.
Deskripsi Transkrip Hasil Rekaman
1. Rekaman I, percakapan tiga orang tua
murid TK. Indriyasana, Pugeran, Yogyakarta pada hari Rabu, 05 Juni 2013, pukul
09:00 WIB dengan topik pembicaraan masakan.
Peristiwa tutur:
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
|
nek baru minta
maem itu. Ti...masak ini ngarani, neng nek
ga ngarani mbo
blas ga mau maem, mung susu dikenteli, udah itu tok.
wah..pun ngerti ngarani ya.
lha inggih, wong di timbangan balita wae emoh
maem kok... ah kacang ijo ne ga
enak, nek buatan sendiri enak..nek uti gawe kan enak... mbo lele barang wae
ga mau, nek dibeliin ga mau.
Ooo..ngono to. Berarti maunya masak sendiri ya.
Hm..hmm walaupun cuma 2, ato 3 ekor.... yo ¼ kg gitu
masak sendiri. Soale kan ga bau tanah to... nek beli itu kan bau tanah. Kalo
aku...lele ta rendem air garam, asem nanti bumbunya masuk sampai daging, trus
ta kasih jeruk nipis, sama jahe, kunyit.. jadi kan ga bau tanah gitu. Nek
beli itu kan cuma dicelupin bumbu...bersihin lele juga waton-waton.
Iya..ya..ga bersih?
Iya..kan masih mulur to..lha kalo dicuci pake garam
kan hilang lendirnya...dicuci ulang-ulang...direndam garam dicuci trus rendam
lagi.
Memang harus anu koq...klo ikan 3 kali minimal
cucinya.
Nggih, lha nggih ngoten niku nek lele niku lha mung
dipyuri uyah wis mati kok gari dibeleh.
Ooo..koyo welut barang nggih ngoten niku?
Lha..nek aku langsung ta betheti wae.
Lha ne mateni piye? Dipukul kepalanya?
Ora, langsung dibetheti wae
Ooohh..
Langsung dibeleh wetenge, diresiki, ngko ne mati
dewe.
Hiii..kejam yo.
Neng ojo nganggo peso, nganggo gunting dadi
kres-kres ngono cepet. Nek welut ki dipyuri awu.
Weee...mateni dipyuri awu?
Ora..., ben ora lunyu saja, dadi lendire ilang
langsungan.
|
2. Rekaman II, percakapan lima orang tua
murid TK. Indriyasana, Pugeran, Yogyakarta pada hari Rabu, 05 Juni 2013, pukul
09: 53 WIB dengan topik pembicaraan kupon undian swalayan X.
Peristiwa tutur:
Ortu 1 :
Ortu 2 :
Ortu 3 :
Ortu 4 :
Ortu 5 :
Ortu 4 :
Ortu 1 :
Ortu 4 :
Ortu 5 :
Ortu 3 :
Ortu 4 :
Ortu 5 :
|
Lha koq wes mulih jam samene?
Iya, ujian sudah mulai hari Rabu wingi.
Iki ono kupon X, sopo gelem entuk motor lho?
Ngendi? X! X ki mung ngapusi.
Ho..oh mbak, kuwi wonge dewe kabeh sing entuk.
Mosok sing entuk mesti wong Semarang, lha iyo anake
neng Semarang.
X, mriki?
Nggih, X ngendi wae, podho wae, sing entuk ki mesti
Semarang, Bantul..lha iyo anake neng Semarang karo neng Bantul.
Paling yo tangga-tanggane dan sedulur-sedulure.
Lha yo karang mung apus-apus.
Motor loro ki mung nggo giliran kok, nganti
pirang-pirang taun motore ra tau ganti.
Lha pancen ra tau ono disaksikan pemberian hadiahe..
|
B.
Wujud Campur Kode
Dari kedua rekaman
percakapan yang dilakukan oleh para orang tua murid TK. Indriyasana, dapat
dilihat bahwa terjadi campur kode antara bahasa pertama (B1) yaitu bahasa Jawa
dengan bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia. Melihat ragam bahasa yang
digunakan dalam rekaman percakapan di atas, maka percakapan tersebut terjadi
dalam sebuah situasi (situations) informal
dengan menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko dan ragam tidak baku dalam bahasa
Indonesia.
Ortu 1, dari rekaman percakapan 1,
beberapa kali melakukan campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia,
begitupun sebaliknya.
Rekaman
1 - Ortu 1
·
nek
baru minta
maem itu. Ti... masak ini ngarani, neng nek ga ngarani mbo blas ga
mau
maem, mung susu dikenteli, udah itu tok.
·
lha
inggih, wong di timbangan balita wae emoh maem kok... ah kacang ijo ne ga enak,
nek buatan sendiri enak..nek uti gawe kan enak... mbo lele barang wae ga mau,
nek dibeliin
ga
mau.
·
Hm..hmm
walaupun cuma 2, ato 3 ekor.... yo ¼ kg gitu masak sendiri. Soale kan ga bau tanah
to... nek beli itu kan bau tanah. Kalo aku...lele ta rendam
air
garam, asem nanti bumbunya masuk sampai daging, trus ta kasih jeruk
nipis, sama jahe, kunyit.. jadi kan ga bau tanah gitu. Nek beli
itu kan cuma dicelupin bumbu...bersihin lele juga waton-waton.
Kata-kata seperti
<minta>, <masak>, <mau>, <timbangan>, <sendiri>,
<enak>, <tanah>, <beli>,<bumbu>, <garam>, <bau> termasuk campur kode yang
digolongkan dalam sisipan kata. Kata <ga>, <gitu> yang berasal dari
bahasa gaul juga termasuk sisipan kata. Selain itu, kata-kata seperti
<dikenteli>, <dicelupin>, <dibeliin> merupakan campur kode
sisipan baser.
Rekaman 1-Ortu 2
·
Ooo..ngono
to. Berarti maunya
masak sendiri ya.
·
Iya..ya..ga bersih?
·
Lha
ne mateni piye? Dipukul kepalanya?
Dalam kalimat
percakapan yang diujarkan oleh Ortu 2, dapat dilihat bahwa terdapat campur kode
yang dilakukan oleh Ortu2 dalam berinteraksi. ‘Berarti maunya masak sendiri ya’
dan ‘dipukul kepalanya’ tergolong ke dalam campur kode sisipan klausa, ‘ga
bersih’ tergolong sisipan frasa.
Dari hasil
analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan oleh ortu
1 dan ortu 2 saling bercampur antara bahasa jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa
gaul. Hal ini mengakibatkan munculnya ragam bahasa Indonesia dengan dialek
Jawa, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan, dan bahasa Jawa gaul.
C.
Wujud Interferensi
Dari hasil
rekaman di atas jika kita lihat dan teliti lebih dalam, bahasa yang diujarkan
oleh para orang tua murid tersebut terkadang menyelipkan ujaran suatu bahasa
terhadap bahasa lain yang mencakup pengucapan dalam bidang fonologi dan
morfologi.
Interferensi
fonologi terjadi sebagai akibat pelafalan bunyi fonem yang dipengaruhi oleh
dialek daerah atau bahasa ibu yang terbiasa dipakai meliputi fonem /ɑ/ pada kata
<rendem>, <asem>, <dikenteli> dilafalkan menjadi /ə/: [rəndəm],
[ɑsəm], [dikəntəli]. Sedangkan interferensi morfologi terjadi dalam pembentukan
kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dapat dilihat dari hasil
transkrip rekaman di atas bahwa terdapat kata-kata yang menyerap afiks-afiks
dari bahasa lain meliputi kata <dikenteli>, <dibeliin>,
<soale>, <dicelupin>, <langsungan>, <anake> dan
<hadiahe>. Jika dilihat pada tingkat morfologi, sufiks -in, -e, -i, dan
–an tidak ada dan merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya
kebiasaan-kebiasaan dalam ujaran bahasa ibu atau dialek daerah kedalam bahasa
atau dialek kedua dan ini merupakan peristiwa penyimpangan norma dari salah
satu bahasa atau lebih. Menurut Soewito (melalui Chaer & Agustina, 2010:
126), interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah berlaku
bolak-balik, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan
bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah.
Bentuk-bentuk
tersebut di atas, dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk
tersebut sebenarnya memiliki bentuk yang benar yaitu dibelikan, dikentalkan,
dibelikan, soalnya, dicelupkan, kelangsungan, anaknya, dan hadiahnya.
Dapat
disimpulkan bahwa interferensi bagaikan dua sisi mata uang logam yang salah
satu sisinya menguntungkan dengan bertambahnya ragam bahasa serapan sebagai
akibat dari percampuran bahasa tersebut yang dapat memperkaya bahasa. Di sisi
lain interferensi juga sangat merugikan karena jika dilihat dari segi kemurnian
bahasa, maka interferensi dalam tingkat apapun merupakan penyakit, sebab
merusak norma dan tataran kebahasaan.
BAB V
PENUTUP
Kebebasan penggunaan bahasa dilakukan oleh penutur dan
petutur di atas semata-mata dengan faktor ketidaksengajaan. Percampuran bahasa
dan interferensi dilakukan karena dilatarbelakangi oleh situasi dan penutur
yang sama-sama berasal dari daerah Jawa.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa wujud campur kode bahasa yang digunakan oleh para orang tua murid
tersebut dominannya adalah berupa sisipan kata, meskipun terkadang juga
menggunakan campur kode yang berupa sisipan frasa dan kalimat. Sedangkan wujud
interferensi yang terjadi berupa interferensi pada tingkat fonologi dan
morfologi yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu dan dialek kedaerahan.
Selain itu, kode yang digunakan dalam situasi informal di
lingkungan sekolah ketika berujar tergantung pada situasi dan siapa lawan
bicaranya. Seperti halnya pada rekaman di atas, meskipun para orang tua murid semuanya
berasal dari daerah Jawa yang sama-sama memiliki bahasa ibu dan dialek yang
sama tetap saja terjadi campur kode dan interferensi dalam penggunaan bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Bell,
T. Roger. 1976. Sociolingistics: Goals,
Approaches and Problems. London: B.T. Batsford Ltd.
Chaer,
Abdul., Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta
: PT. Rineka Cipta
Hariwijaya, M. & Triton,
P.B. 2011. Pedoman Penulisan Ilmiah:
Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Oryza.
Ibnu Hadjar.1996.Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Kwantitatif dalam Pendidikan. Jakarta:RajaGrafindo
Persada.
Kridalaksana,
Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta :
Gramedia.
Nababan,
P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Pengantar Awal.
Jakarta : Gramedia.
Poedjosoedarmo,
Supomo. 1986. Kode dan Alih Kode.
Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa.
Saville,
Muriel., Troike. 2003. The Ethnography of
Communication: An Introdution (Third Edition). London: Blackwell
Publishing.
Suharsimi
Arikunto. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Terima kasih.
BalasHapusTerima kasih.
BalasHapus