METODE KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
METODE
KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING and
LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Oleh:
Casimirus Andy Fenanlampir
12706251052
A. PENDAHULUAN
Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi manusia.
Kelemahan dalam penguasaan kemampuan berbahasa atau kemampuan verbal akan menghambat
kemajuan seseorang dalam mempelajari hal-hal yang lain. Pemerolehan bahasa
dapat diklasifikasikan atas dua golongan, yakni pemerolehan bahasa pertama dan
pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama berhubungan dengan segala
kegiatan seseorang dalam menguasai bahasa ibunya. Sedangkan pemerolehan bahasa
kedua terjadi setelah setelah seseorang menguasai bahasa pertamanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berbahasa diperoleh seseorang melalui dua cara yaitu: pemerolehan bahasa (language acquisition) bagi bahasa
pertama dan pembelajaran bahasa (language
learning) bagi bahasa kedua.
Istilah
pemerolehan bahasa atau language acquisition biasanya dihubungkan dengan
pemerolehan bahasa pertama atau kedua. Pemerolehan bahasa pertama adalah proses
belajar bahasa yang dilakukan tanpa disadari. Pemerolehan bahasa terjadi dengan
ciri-ciri tidak direncanakan dan tidak disadari. Hal ini terjadi pada masa
kanak-kanak. Ketika kanak-kanak, orang tua kita tidak pernah menyusun suatu
program pengajaran bahasa. Kita belajar bahasa pertama secara alamiah atau
natural. Orang-orang dewasa di sekitar kita menjadi guru alamiah kita. Mereka
akan memberi pujian jika kita berbicara benar, dan perbaikan jika kita
berbicara salah.
Berbeda dengan pemerolehan bahasa, istilah
pembelajaran bahasa (language learning)
merujuk pada kegiatan yang dilakukan para pengajar dan peserta didiknya. Hal
ini berarti terjadi interaksi langung antara peserta didik dengan pengajar
dalam sebuah kegiatan pembelajaran yang terlebih dahulu diprogramkan atau
diatur sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai.
Menurut Basilius R. Werang (2011: 85) pembelajaran merupakan suatu proses sadar
yang dilakukan pengajar untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan
kualitas belajar para peserta didiknya. Dalam kerangka berpikir ini maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya sistematis dan
terprogram untuk mengembangkan kemampuan.
Keterampilan seseorang dalam menguasai bahasa
bergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan bahasa tersebut. Hal ini
disebabkan bahasa pertama lebih dikuasai daripada bahasa kedua. Berbeda jika
terdapat kesempatan yang sama untuk menggunakan dua bahasa atau lebih, maka ada
kemungkinan penguasaan atas kedua bahasa itu akan sama baiknya.
Penelitian tentang sistem pendidikan formal
pada negara-negara yang mempunyai bahasa atau dialek yang berbeda-beda
membuktikan bahwa masalah-masalah kebahasaan sering dijumpai di sekolah-sekolah
dan sebagian besar menyebabkan kemunduran belajar atau kegagalan para peserta
didik. Keberhasilan di sekolah sebagian besar bergantung pada kuatnya kemampuan
berbahasa lisan dan tulisan (Iskandarwassid dan Dadang Sunendar, 2011: 82)
Dengan banyaknya metode pembelajaran yang
dapat digunakan oleh seorang pengajar dalam sebuah proses pembelajaran, dan
beradasarkan kajian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap pemerolehan
bahasa anak, maka maka makalah ini akan membahas tentang metode pembelajaran
bahasa yang berlandaskan pemerolehan bahasa pada anak dengan judul metode pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran bahasa bagi anak-anak.
B. RUMUSAN
MASALAH
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih fokus,
maka berikut adalah beberapa masalah yang nantinya akan dibahas, meliputi:
1. Apa itu metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)?
2. Mengapa metode pembelajaran kentekstual
dianggap paling tepat dalam pembelajaran bahasa pada anak-anak?
C. TUJUAN
Tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang metode pembelajaran kontekstual.
2. Mengetahui alasan penggunaan metode pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran bahasa pada anak-anak.
D. PEMBAHASAN
1.
Kosep
Pengalaman Belajar
Cara belajar
yang paling baik adalah melalui pengalaman, karena melalui pengalaman tersebut
peerta didik dapat melibatkan seluruh pancainderanya. Untuk memperoleh
pengalaman belajar dimaksud, peserta
didik dapat melakukan berbagai macam kegiatan, entah itu di sekolah, di rumah, atau
pun di dalam lingkungan masyarakat.
Belajar dari
pengalaman adalah belajar bagaimana peserta didik menghubungkan pengalamannya
saat ini dengan pengalaman yang dialaminya pada masa lampau. Dalam bahasanya
John Dewey (melalui Park, 1958: 94), belajar dari pengalaman berarti to make backward and forward connection
between what we have to do things and what we enjoy or suffer from things in
consequences (membuat hubungan antara hal-hal yang harus kita lakukan dan
hal-hal yang kita nikmati atau kita derita sebagi akibat dari apa yang kita
lakukan pada masa lampau dan pada masa yang akan datang).
Perubahan
perilaku yang terjadi dalam diri peerta didik merupakan hasil dari pengalaman
belajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Cronbach (1954)
sebagai berikut: “learning is shown by
change in behavior as a result of experience” (belajar diperlihatkan
melalui perubahan perilaku yang merupakan hasil dari pengalaman). Hal senada
diungkapkan oleh Morgan, dkk (1986) yang menegaskan bahwa belajar merupakan
perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan
atau pengalaman. Menurut woolfolk (1995) yang mengatakan bahwa belajar terjadi
ketika pengalaman mampu menghasilkan suatu perubahan yang relatif tetap dalam
pengetahuan atau perilaku indovidu tertentu. Dapat disimpulkan bahwa kualitas belajar seseorang sangat ditentukan
oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh orang tersebut pada saat berkontak
dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.
2.
Hakikat Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning)
Anak belajar
lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah
dengan mengaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh para peserta
didik . Menurut Yatim Riyanto (2009: 159), ada kecenderungan dewasa ini untuk
kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan
diciptakan alamiah. Menurut Basilius R. Werang (2011: 9) mengatakan bahwa
belajar ‘asosiasi verbal’ merujuk kepada proses memahami informasi verbal yang
menggambarkan suatu konsep, prinsip, benda, situasi, dan sebagainya. Belajar
bahasa verbal akan berhasil jika anak didik memiliki informasi yang
terorganisasi dalam sistem ingatannya. Semakin kuat hubungan antar-informasi
yang ada dalam sistem ingatannya, semakin mudah informasi tersebut diingat.
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) merupakan konsep belajar
yang membantu pengajar mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong mereka untuk membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan merekan
sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu:
konstruktivisme (constructivism),
bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian (authentic assessment).
Dengan konsep ini diharapkan para peserta didik memperoleh hasil yang lebih
bermakna. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan para
peserta didik dengan bekerja dan mengalami.
a.
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir dalam
CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun leh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta-merta.
Esensinya adalah bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan
suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi
itu menjadi milik mereka sendiri. Untuk itu tugas pengajar adalah memfasilitasi
proses tersebut dengan:
·
Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi
peserta didik.
·
Memberi kesempatan peserta didik menemukan dan
menerapkan idenya sendiri
·
Menyadarkan peserta didik agar menerapkan
strategi mereka sendiri dalam belajar
Pengetahuan
tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan
semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru.
b.
Menemukan
Menemukan merupaka kegiatan inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis CTL. Menurut Yatim Riyanto (2009: 171) siklus menemukan
sebagai berikut:
·
Observasi
·
Bertanya
·
Hipotesis
·
Pengumpulan data
·
Kesimpulan
Langkah-langkah
kegiatan menemukan meliputi:
·
Merumuskan masalah
·
Mengamati atau melakukan pengamatan
·
Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan,
gambar laporan, bagan, tabel, atau karya lainnya.
·
Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada
pambaca, teman sekelas, pengajar, atau audiensi yang lain.
c.
Bertanya
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran
berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan pengajar
untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta didik.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif,
kegiatan bertanya berguna untuk:
·
Menggali informasi
·
Mengecek pemahaman peserta didik
·
Membangkitkan respons peserta didik
·
Mengetahui sejauh mana keingintahuan peserta
didik
·
Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui peserta
didik
·
Memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu
yang dikehendaki pengajar
·
Membangkitkan pertanyaan lebih banyak lagi dari
peserta didik
·
Menyegarkan kembalai pengetahuan peserta didik
d.
Masyarakat belajar
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari sharing antar teman,
antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam CTL pengajar
disarankan untuk selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar.
e.
Pemodelan
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan dan
pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa cara
mengoperasikan sesuatu, cara melafalkan, dan sebagainya. Seorang pelajar bis
ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata, dan peserta
didik dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus
dicapai.
f.
Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang
baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang sesuatu yang sudah dilakukan
di masa lampau. Peserta didik mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai
struktur baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan baru
yang diterima peserta didik.
g.
Penilaian
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Hal ini
disebabkan aspek penilaian menekankan proses pembelajaran maka data yang
dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan peserta didik
pada saat proses pembelajaran. Apabila peserta didik mengalami kemacetan
belajar, maka berdasarkan data tersebut, pengajar dapat mengambil
langkah-langkah yang perlu untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah
belajarnya.
Dalam kelas
kontekstual, tugas pengajar adalah membantu peserta didiknya mencapai tujuan. Selain
itu, pengajar juga bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi peserta didiknya. Sesuatu yang baru
diperoleh dari “menemukan diri” bahkan dari “apa kata guru” (Yatim Riyanto,
2009: 160).
3.
Model – model
pembelajaran Efektif berbasis pembelajaran CTL
Terdapat sejumlah model pembelajaran efekktif
berbasis kontekstual yang dapat diguanakan dalam proses pembelajaran,
diantaranya yaitu pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran kooperatif dengan berbagai
tipenya, seperti STAD/ Student-Teams
Achievement Divisions (Tim Siswa Kelompok Prestasi), JIGSAW (Model Tim
Ahli) dan GI (Group Investigation),
TPS (Think-Pair and Share), NHT (Numbered Head Together), picture and
picture, examples non examples, pengajaran berbasis inkuiri, pengajaran
berbasis tugas/proyek (Project Based
Learning), demonstration, role playing, pemodelan (modelling), dan lain sebagainya.
·
Tipe Team Game Tournament (TGT)
Dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe TGT,
peserta didik tidak diilai dengan kuis individual tetapi melalui turnamen
perbaikan akademik. Peserta didik mewakili timnya berlomba dengan anggota
lainnya yang setara kinerja akademiknya berdasarkan hasil penilaian yang sudah
pernah dilakukan. Peserta didik dari seluruh tingkatan kinerja pada setiap
kelompok memiliki peluang yang sama untuk menyumbang poin bagi timnya apabila
mereka berhasil melakukan yang terbaik.
·
Tipe berbasis masalah (Problem Based Learning)
Dalam tipe pembelajaran ini, kegiatan
pembelajaran dimulai dengan mengajukan permasalahan kepada peserta didik,
kemudian mereka diarahkan untuk melakukan penelitian kelompok. Pengajar
membantu kelompok mendapatkan informasi yang tepat dan menata laporan hasil
penelitian untuk disampaikan kepada seluruh kelas. Selanjutnya, para peserta
didik diajak dan dipandu untuk melakukan refleksi, menganalisis, dan
mengevaluasi proses hasil penelitian mereka.
·
Tipe Students Team Achievement Division (STAD)
Tipe ini dikembangkan oleh Robert Slavin (melalui
Nur, 1999). STAD merupakan tipe pembelajaran koperatif yang paling sederhana
sehingga pengajar baru dapat menggunakannya. Para peserta didik dibagi ke dalam
beberapa kelompok. Setelah itu pengajar mempresentasikan pembelajaran dan para
peserta didik berusaha bekerja dalam kelompok untuk memastikan bahwa seluruh
anggota kelompok menuntaskan atau menguasai materi tersebut. Seluruh peserta
didik diberikan tugas individual dan mereka tidak boleh saling membantu dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan.
·
Tipe Numbered-Heads Together (NHT)
Tipe pembelajara ini dikembangkan oleh Spencer
Kagen (1993). Tipe ini melibatkan banyak peserta didik dalam kelompok yang
diberikan nomor berbeda. Pengajar mengajukan pertanyaan kepada peserta didik.
Para peserta didik dalam kelompok enyatukan ide dan pikiran mereka sekaligus
memastikan bahwa setiap anggota kelompok mampu menjawab pertanyaan yang
diajukan tersebut. Kemudian, pengajar memanggil nomor tertentu dan meminta
kepada semua peserta didik yang nomornya dipanggil untuk mengangkat tangan dan
memberikan jawaban bagi seluruh kelas.
·
Tipe JIGSAW
Dalam pembelajaran tipe ini, materi pebelajaran
disajikan kepada para peserta didik dalam bentuk teks, dan setiap peserta didik
dalam kelompok bertanggung jawab mempelajari satu bagian materi. Selanjutnya,
anggota kelompok berbeda namun yang memiliki tanggung jawab atas bagian materi
yang sama berkumpul membentuk satu kelompok baru, yang disebut kelompok ahli,
untuk belajar bersama dan saling membantu dalam mempelajari materi tersebut. Setelah
itu mereka kembali ke kelompok asal dan menjelaskan apa yang telah mereka
pelajari dalam kelompok ahli kepada teman-temannya. Kemudian pengajar meminta
beberapa peserta didik untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok awal.
·
Tipe Think Pair Share (TPS)
Pemmbelajaran tipe TPS atau berpikir (think) dan berbagai (share) secara berpasangan (pair) merupakan jenis pembelajaran yang
khusus dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi para peserta didik. Dalam
pembelajaran tipe ini, pengajar mengajukan pertanyaan atau isu tertentu dan
meminta setiap peserta didik untuk memikirkan jawaban dan penjelasannya.
Selanjutnya, para peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk secara
berpasang-pasangan berdiskusi tentang jawaban dan penjelasan yang telah
dipikirkannya. Pengajar kemudian meminta kepada setiap pasangan untuk
mempresentasikan hasil diskusinya kepada semua peserta didik.
·
Tipe Group Investigation (GI)
Dasar-dasar metode group investigation
(investigasi kelompok) dirancang oleh Herbert Thelen, selanjutnya dikembangkan
oleh oleh Sharan dan kawan-kawannya. Dibandingkan dengan model STAD dan Jigsaw,
group investigation merupakan model pembelajaran yang lebih kompleks dan paling
sulit dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Pada model group
investigation, sejak awal peserta didik dilibatkan mulai dari tahap perencanaan
baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui
investigasi. Dalam pelaksanaanya, mempersyaratkan para peserta didik untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan
proses kelompok. Pengelompokan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil
antara 5-6 orang dapat bersifat heterogen dan dapat juga didasarkan pada
kesenangan berteman atau kesamaan minat. Para siswa memilih topik yang ingin
dipelajari, mengikuti/melakukan investigasi.
4.
Kelebihan dan
kelemahan CTL
Adapun keunggulan dari pembelajaran CTL adalah
sebagai berikut:
·
Pembelajaran menjadi bermakna dan riil. Hal ini
berarti peserta didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan di kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab
dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan
saja bagi peserta didik materi itu akan berfngsi secara fungsional, tetapi
materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori, sehingga tidak akan
dilupakan.
·
Pembelajaran lebih produktif dan mampu
menumbuhkan penguatan konsep kepada peserta didik karena metode CTL menganut
aliran konstruktivime, di mana seorang peserta didik dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri.
·
Kontekstual adalah model pembelajaran yang
menekankan pada aktivitas peserta didik secara penuh, baik fisik maupun mental.
·
Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan
sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untk
menguji data hasil temuan mereka.
·
Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh
siswa, bukan hasil pemberian pengajar.
·
Penerapan pembelajaran kontekstual dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna.
Sedangkan
kelemahan dari pembelajaran kontekstual ini meliputi:
·
Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses
pembelajaran berlangsung.
·
Jika pengajar tidak dapat mengendalikan kelas
maka dapat meniptakan situasi kelas yang kurang kondusif.
·
Pengajar lebih intensif dalam memberikan
perhatian dan bimbingan kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran tercapai
sesuai dengan apa yang ditetapkan semula.
5.
Mengapa CTL
menjadi pilihan
Sejauh
ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru
sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama
strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang tidak
mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta tetapi sebuah strateggi yang mendorong
siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri malalui pengalaman
yang telah diperoleh sebelumnya.
Alasan perlu diterapkannya pembelajaran
kontekstual adalah :
·
Sebagian besar
waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian
pengetahuan oleh guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya,
sehingga tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.
·
Materi
pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan
masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
·
Penilaian hanya
dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan
kemampuan belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.
·
Sumber belajar
masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara
optimal.
Dalam pembelajaran bahasa, yang menurut para ahli
bahwa seseorang belajar bahasa telah dimulai saat masih bayi karena memiliki
apa yang disebut oleh Chomsky (melalui Subyakto-Nababan, 1992) dengan Language
Acquisition Device
(LAD). Chomsky, mengatakan
bahwa setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan falcuties of the mind, yakni
semacam kapling-kapling intelektual dalam benak atau otak mereka dan salah
satunya dijatahkan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa, maka pembelajaran dengan metode kontekstual
(CTL) ini, penulis anggap paling cocok, disebabkan para peserta didik sudah
memiliki pengetahuan dan pengalaman awal dalam berbahasa yang telah
diperolehnya.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
menjadi metode yang cocok digunakan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini
disebabkan metode pembelajaran ini menitikberatkan pada:
1. Pengalaman atau pemerolehan bahasa yang telah
diperoleh peserta didik.
2. Proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah
pembelajaran yang aktif, menarik, interaktif, dan kooperatif.
3. Peserta didik terlibat langsung dalam mencari
pengetahuan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bell-Gredler, M. E. 1986. Learning and
Instruction.: Theory into Practice. New York: McMillan Publishing Company.
Iskandarwassid-Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajara Bahasa. Rosdakarya:
Bandung.
Riyanto, Yatim.
2009. Paradigma Baru Pembelajaran.
Kencana: Jakarta
Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik,
Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Werang, Basilius.R. 2011. Belajar dan Pembelajaran (Materi Ajar Buku Pegangan Mahasiswa).
Elang Mas: Malang.
Woolfolk, A. E. 1995. Educational Psychology. Needham Heights: Allyn & Bacon.
Komentar
Posting Komentar